PENDAHULUAN
Pertambangan merupakan sektor yang berpenaruh terhadap pemasukan sesuatu negeri. dalam perkembangannya tidak cuma orang antar orang yang melaksanakan kegiatan pertambangan melaikan korporasi juga turut dan dalam melaksanakan kegiatan pertambangan. Sebelum krisis moneter tahun 1997, korporasi semakin berkembang kearah yang lebih baik dalam kualitas dan kuantitas dan bermacam berbagai bidang yang digeluti oleh korporasi – korporasi tersebut.
Zona usaha korporasi di Indonesia salah satunya merupakan pertambangan. Pertambangan di Indonesia mempunyai banyak sekali utilitas untuk negeri serta penduduk
Indonesia. Zona pertambangan di Indonesia sudah menolong perekonomian Indonesia dan masyarakat lokal yang bereada pada daerah pertambangan. Sebagaimana ditegaskan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Kalau Bumi serta air serta kekayaan alam yang terdapat di dalamnya dikuasai oleh Negeri serta di pergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat, sehingga jelas sekali bahwa penguasaan bumi dan air dan kekayaan alam yang terdapat dalam bumi dapat dimanfaatkan sebesar besar oleh rakyat. Tetapi dalam menggunakan kekayaan alam wajib mencermati kelestarian alam serta keberlanjutan buat generasi-generasi berikutnya. Sehingga dalam pemanfaaaan sumber daya alam Indonesia butuh dicermati prinsip- prinsip yang harus dipatuhi, yaitu :1. Prinsip kebersamaan, 2. efisiensi, 3. berkeadilan, 4. berkelanjutan, 5. berwawasan lingkungan dan 6. kemandirian, dan dengan melindungi penyeimbang kemajuan kesatuan ekonomi nasional.
Masa saat ini meningkatnya proses modernisasi bertambah pula tuntutan atas nilai- nilai serta norma- norma baru dalam kehidupan nasional antar bangsa. Bidang Ekonomi adalah pendorong utama globalisasi, dimana meningkatnya arus data, perbankkan serta industri multinasional yang bergerak cepat melalui pasar bebas, arus modal serta penanaman modal luar negara. yang jelas bisa dikatakan kalau globalisasi ataupun modernisasi sifatnya fakultatis (change is not optional).
Tidak cuma memandang pada zona ekonomi, zona area pun butuh dicermati. Ketersediaan sumber daya alam mendesak para pelaku usaha pertambangan harus mencermati pula aspek ekologi untuk area serta pula warga disekitar area tersebut. Gimana akibat tambang tersebut untuk area disekitar serta apakah pertambangan tersebut memiliki dampak negative bagi masyarakat disekitar, para pelaku usaha pertambangan haruslah memikirkan juga keuntungan yang didapat bagi warga disekitar dengan terdapatnya pertambangan tersebut.
Korporasi merupakan, sesuatu perkumpulan orang, dalam korporasi umumnya yang memiliki kepentingan merupakan orang-orang yang menjadi anggota dari korporasi itu, anggota manapun mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota selaku perlengkapan kekuasaan yang paling tinggi dalam peraturan korporasi.
Pada dasarnya seluruh pemenuhan kehidupan warga disaat ini tergantung pada sesuatu produk hasil dari aktivitas korporasi, tuntutan hendak pemenuhan kebutuhan warga tersebut menjadikan sesuatu korporasi dalam melaksanakan pemenuhan kebutuhan warga, tanpa memikirkan akibat yang hendak terjadi yang bakal merugikan baik terhadap lingkungan atau dampak yang dapat merugikan masyarakat
Setiap orang sebagai subyek hukum pelaku tindak pidana pertambangan, tetapi dalam kegiatan usaha pertambangan sebagaimana Pasal 1 angka 23 UU Pertambangan disebutkan bahwa kegiatan usaha pertambangan diselenggarakan oleh badan usaha merupakan badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan bersumber pada hokum Indonesia dan berkedudukan dalam daerah Negeri Kesatuan Republik Indonesia. Badn hukum tersebut di antara lain berupa Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Badan usaha berbentuk badan hukum, namun dalam UU Pertambangan tidak ada penyebutan yang melakukan tindak pidana pertambangan merupakan korporasi.
Bersumber pada topik tersebut diatas pembahasan dalam penelitian ini berfokus pada permasalahan hukum tentang makna pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?, Implikasi pengaturan dalam perundang-undangan di Indonesia jika terjalin inkonsistensi pengaturan? dan Bentuk rekonstruksi pengaturan pertanggungjawaban pidana pengelolan industri/pelaku pertambangan yang menyebabkan kerugian pada lingkungan/ ekologi dan masyarakat?
PEMBAHASAN
Arti Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Model pertanggungjawaban pada korporasi telah terjalin perpindahan pemikiran kalau korporasi bisa dipertanggungjawabkan selaku pembuat disamping manusia alamiah (naturlijk persoon). Penolakan pemidanaan korporasi sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap). Jadi dalam system pertanggungjawaban ini merupakan permulaan pertanggungjawaban yang langsung dari korporasi. Pertanggungjawaban yang langsung dari korporasi dimana korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Motivasinya merupakan dengan mencermati pertumbuhan korporasi itu sendiri, yakni kalau nyatanya dalam sebagian delik tertentu, ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak pas. Dalam delik-delik ekonomi bukan mustahil denda yang dijatuhkan sebagai hukuman kepada pengurus dibandingkan dengan keuntungan yang telah diterima oleh korporasi dengan melaksanakan perbuatan itu ataupun kerugian yang ditimbulkan dalam warga, ataupun yang dialami oleh saingan-saingannya, keuntungan dan ataupun kerugian-kerugian itu merupakan lebih besar daripada denda yang dijatuhkan sebagai
tindak pidana. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang layak kalau korporasi tidak melakukan lagi melaksanakan perbuatan yang sudah dilarang oleh undang- undang itu. Nyatanya dipidananya pengurus saja tidak layak buat mengadakan represi terhadap delik- delik yang dicoba oleh ataupun dengan sesuatu korporasi. Karenanya dibutuhkan pula buat dimungkinkan memidana korporasi, serta pengurus ataupun pengurus saja.
Tidak cuma itu saja, terdapat sebagian hal yang bisa dijadikan alibi pembenar kalau korporasi selaku pembuat serta sekalian yang bertanggungjawab, ialah awal, sebab dalam bermacam tindak pidana ekonomi serta fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi ataupun kerugian yang dialami warga bisa sedemikian besar, sehingga tidak bakal bisa jadi balance bilamana pidana cuma dijatuhkan pada pengurus saja. Kedua, dengan hanya memidana pengurus saja, tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi. Dengan memidana korporasi dengan hukuman yang cukup berat sesuai dengan sifat korporasi itu sendiri, diharapkan korporasi bisa mentaati peraturan yang bersangkutan.
Jika ditinjau dari Putusan Pengadilan dengan No Masalah 40/ Pid. Sus/ 2012/ PN. Kdi sehubungan permasalahan pertambangan dimana tersangka atas nama Mohammad Said Bin Achyar melaksanakan aktivitas pertambangan di Wilayah Aliran Sungai ( DAS) kali Brantas di Dusun Kolah, Desa Wonorejo, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri yaitu pada Tahun 2010 sampai 2011 tanpa terdapatnya Izin Usaha Pertambangan, dengan terdapatnya kegiatan pertambangan tersebut mengakibatkan terjadinya rusaknya area disekitar sungai Berantas sebab dikerjakannya usaha pertambangan tanpa terdapatnya petunjuk teknis pertambangan.
Setelah itu dari permasalahan yang terjalin tersebut para majelis hakim dengan bermacam pertimbangan- pertimbangan antara lain menimbang dengan penjelasan saksi- saksi, penjelasan tersangka, dan terdapatnya fakta apabila dihubungkan antara yang satu dengan yang lain silih berkesesuaian ialah bahwa benar pada hari Kamis, Bertepatan pada: 22 Desember 2011, sekira jam 08. 00 Wib bertempat di Wilayah Aliran Sungai (DAS) Kali Brantas di Dsn. Tegalrejo, Ds. Wonorejo, Kec. Ngadiluwih, Kab. Kediri, tersangka sudah melaksanakan Usaha Penambangan dengan tanpa ijin dengan metode menyedot material pasir yang terdapat di DAS sungai kali Brantas dengan memakai perlengkapan mekanik berbentuk 1 (satu) unit mesin diesel penyedot pasir, pipa paralon, pipa spiral dan sungkru besi buat dialirkan ke tempat penampungan/ galangan pasir buat berikutnya dijual kepada pembeli yang datang ke lokasi tambang yang dikelolanya dengan harga Rp 80. 000per 1(satu) rit/ trucknya, material tambang yang terjual tiap harinya rata- rata sebanyal 3 rit / truck
pendapatan yang didapat terdakwa masing-masing harinya kurang lebih Rp. 200. 000,-( dua ratus ribu rupiah).
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa mampu bertanggung jawab, hingga terdakwa Harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang didakwakan terhadap diri terdakwa oleh Karena itu harus dijatuhi pidana. Setelah itu hal-hal yang memberatkan antara lain ialah Perbuatan Tersangka sangat meresahkan warga; dan Perbuatan Terdakwa merusak lingkungan hidup baik berupa tanah longsor, pengikisan tanah, dan mengganggu ekosistem disekitar kali brantas.
Kemudian dengan hal ini majelis hakim memutuskan, menetapkan Tersangka Mohammad Said Bin Achyar dalam perihal ini selaku owner sekaligus orang yang menyuruh utuk melaksanakan aktivitas pertambangan secara legal serta menyakinkan melaksanakan aktivitas Usaha Pertambangan, Izin Pertambangan Rakyat, Izin Usaha Pertambangan Spesial serta menjatuhkan pidana terhadap Tersangka dengan pidana penjara sepanjang 10 bulan serta denda sebesar Rp. 500. 000, 00. (lima ratus ribu rupiah).
Jika ditinjau dengan teori pertanggngjawaban korporasi ialah teori identifikasi, teori ini menjustifikasi pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Teori ini mengatakan bahwa Aksi serta kehendak dari direktur merupakan pula ialah aksi serta kehendak korporasi. Terpaut teori identifikasi ini menghalangi pertanggungjawaban korporasi terhadap aksi orang- orang yang dalam perihal ini mewakili korporasi, seperti halnya direksi, dan pengurus- pengurus inti dari korporasi yang sebagai penentu kebijakan dari korporasi tersebut.
Teori tersebut bertolak belakang dengan Teori Vicarious Liability yaitu teori pertanggungjawaban pidana pengganti yaitu tanggungjawab seseorang tanpa adanya kesalahan pribadi, akan tetapi bertanggungjawab atas tindakan orang lain. Terkait dengan perkara pidana, terdapat dua prinsip penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerpkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pengganti yaitu:
- Prinsip pendelegasian.
Seorang bisa dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang oleh orang lain lakukan, apabila seorang itu sudah mendelegasikan kewenangannya berdasarkan undang- undang kepada orang lain;
Prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan majikan.
Seseorang majikan dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara nyata dilapangan oleh buruhnya ataupun pekerjanya, bagi hukum perbuatan buruhnya itu merupakan perbuatan majikannya. Jadi apabila sang pekerja selaku pembuat
materiil ataupun aplikasi fisik (auctor fisicus) serta majikan selaku pembuat intelektual (auctor intellectualis).
Berdasarkan kasus pertambangan yang terjadi di Kediri tersebut majelis hakim menjatuhkan vonis terhadap usaha pertambangan dengan memakai pengertian teori pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu Vicarious Liability, dimana pengurus atau pihak yang menyuruh melakukan usaha pertambanganlah yang wajib bertanggungjawab atas aktivitas yang dilakukan.
Jika ditinjau berdasarkan kedua teori pertanggungjawaban pidana korporasi yang sudah dijelaskan diatas memiliki kelemahan kelebihan masing-masing, akan tetapi jika untuk dapat terapkan dalam pemberian sanksi pidana dalam hal ini mengingat bahwa hokum pidana itu sendiri merupakan Ultimum Remidium atau dapat dikatakan begagai opsi terakir bila peraturan yang lain tidak bisa menuntaskan sesuatu kasus hingga hukum pidanalah yang digunakan. Sehingga Teori Vicarious lah yang paling relevan digunakan untuk bahan pembuatan dasar peraturan dalam merekonstruksi pengaturan pertanggungjawaban pidana untuk korporasi mengingat dimana korporasi selaku subyek hukum yang tidak dapat dijatuhi sanksi pidana, melainkan penguruslah dimana pengurus disini adalah orang yang bertindak mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan ataupun kegiatan.
Kemudian tidak mungkin kiranya disini apabila korporasi yang bertindak untuk melakukan perbuatan tersebut melainkan pengelola atau pengurusnya yang biasanya diwakili oleh direktur atau pimpinan lainnya dalam menentukan suatu keputusan untuk melakukan aktivitas atau kegiatan dari kegiatan korporasi tersebut. Oleh karena itu disini maka penguruslah yang wajib untuk bertanggungjawab apabila korporasi melakukan kesalahan atau kejahatan yang dapat mengakibatkan kerugian pada lingkungan / ekologi dan masyarakat.
2. Implikasi Pengaturan dalam Perundang-undangan Nasional Di Bidang Pertambangan Bila Terjalin Inkonsistensi Pengaturan Bunyi Pasal Terkait Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang- undang di Indonesia
No. | Undang-undang | Ketentuan Pidana Korporasi |
1. | UU Nomor. 3 Tahun 2020, pergantian UU Nomor. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral & Batubara. | Pasal 163 (1) Dalam perihal tindak pidana sebagaimana diartikan dalam bab ini yang ilaksanakan oleh sesuatu badan |
hukum, tidak hanya pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang bisa dijatuhkan terhadap badan hokum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/ 3( satu per 3) kali dari syarat maksimum pidana denda yang dijatuhkan. Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1), badan hukum bisa dijatuhi pidana ekstra berbentuk:pencabutan izin usaha serta/ ataupencabutan status tubuh hukum. | ||
2. | UU. Nomor. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup | Pasal 116 Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana serta sanksi pidana dijatuhkan kepada:Badan usaha; serta/ atau orang yang berikan perintah guna melaksanakan tindak pidana tersebut ataupun orang yang berperan selaku pemimpin aktivitas dalam tindak pidana tersebut. |
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diartikan pada ayat( 1) dilaksanakan oleh orang, yang bersumber pada hubungan kerja ataupun bersumber pada ikatan lain yang berperan dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah ataupun pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut secara sendiri-sendiri ataupun bersama- sama. | ||
Pasal 117 | ||
Bila tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah ataupun pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat( 1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan yaitu pidana penjara serta denda diperberat dengan sepertiga. | ||
Pasal 118 |
Terhadap tindak pidana sebagaimana diartikan dalam Pasal 116 ayat( 1) huruf a, sanksi pidana yang dijatuhkan kepada badan usaha diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang- undangan selaku pelaksana fungsional. Pasal 119 Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan berbentuk: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b.penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha / ataupun aktivitas; c. revisi akibat tindak pidana; d.pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; serta/ atau e.penempatan industry/usaha di bawapengampuan sangat lama 3 tahun Pasal 120 Dalam melakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, serta huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang proteksi serta pengelolaan lingkungaa hidup dalam melakukan eksekusi. Dalam melaksanakan syarat sebagaimana diartikan dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang dalam mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di dalam pengampuan guna melakukan vonis hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap. |
Perbedaan pengaturan terkait pertanggungjawaban pidana untuk korporasi dalam system peraturan perundang- undangan di Indonesia khususnya pengaturan undang- undang yang sudah dipaparkan pada table diatas bisa menyebabkan terdapatnya ketidakpastian hukum dan disharmonisasi pengaturan yang dapat menyebabkan terhambatnya penegakan hukum. dalam ihal ini butuh terdapatnya rekonstruksi terkait pengaturan pertanggungjawaban pidana bagi pengelola pengurus pertambangan demi terciptanya tujuan hokum ialah keadilan, kepastian serta kemanfaatan.
Pada Undang-undang Lingkungan Hidup, menyinggung sehungnan dengan pertanggungjawaban pidana untuk korporasi, dalam Undang- undang ini menekankan kepada badan hukum atau korporasi yang melakukan pencemaran Lingkungan. Pada Undang- undang ini lebih menekankan ke akibat rusaknya lingkungannya saja Yaitu perubahan langsung terhadap sifat kimia, dan hayati yang melampaui kriteria baku rusaknya Lingkugan hidup, tanpa mengendalikan dampak ataupun akibat yang lain.
Berdasarkan permasalahan diatas belum terdapat penyelesaiannya, perihal tersebut bisa disebabkan kebimbangan dari penegak hukum dalam memastikan siapa pengurus ataupun pengelola industriusaha pertambangan yang wajib bertanggungjawab apabila korporasi melaksanakan kejahatan.
Untuk memberikan suatu sanksi yang tegas terhadap pengelola perusahaan pertambangan perlu adanya perubahan atau penyamaan aturan atau sinkronisasi pengaturan terkait pertanggungjawaban pidana bagi pengelola industry/usaha pertambangan hal tersebut perlu bahkan Penting karena tidak bisa dipungkiri kalau sumber daya alam sangat melimpah yang dipunyai oleh Negeri Indonesia sehingga melirik banyak perusahaan untuk mengelola apalagi mengeksploitasi sumberdaya alam yang dipunyai oleh Indonesia, terkhusus di bidang pertambangan.
Berdasarkan teori perundang- undangan ini perlu adanya penyamaan makna ataupun persamaan peraturan untuk memberikan suatu kejelasan terkait pertanggungjawaban pidana korporasi, hal ini dimungkinkan untuk mencari kejelasan serta kejernihan makna atau pengertian- pengertian, dan bersifat kognitif, demi terciptanya tujuan hukum ialah keadilan, kepastian serta kemanfaatan.
Seharusnya terdapat pengaturan lebih jelas sehuungan dengan pertanggungjawaban pidana bagi pengelola perusahaan pertambangan, khususnya pengaturan mengenai pengelola perusahaan pertambangan siapa yang wajib bertanggungjawab apabila terjalin sesuatu kejahatan yang ilaksanakan oleh pengelola tersebut supaya bisa terciptanya tujuan
pemidanaan agar menjadi pelajaran dan memberi efek jera untuk pengelola industry/usaha pertambangan yang melaksanakan kejahatan. Oleh karena itu perlu adanya pengaturan yang lebih jelas dan tergas terkait pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap pengelola perusahaan pertambangan.
3. Rekonstruksi Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana pada pelaku usaha Pertambangan yang Menyebabkan Kerugian Pada Lingkungan/ Ekologi serta Masyarakat
Rekonstruksi pengaturan pertanggungjawaban pidana pelaku usaha pertambangan ini memang merupakan sebuah jawaban atas dasar kasus secara substansial terpaut dengan kesesuaian pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peratutran perundang- undangan dalam bidang pertambangan dengan nilai kepastian hukum yang adil sebagaimana pengaturannya wajib sanggup mengakomodir perlindungan hak asasi manusia bagi korban kejahatan korporasi secara kolektif dan pula terhadap pelaksanaannya. Dengan terdapatnya kejadian tersebut sepatutnya butuh terdapatnya pengaturan secara jelas menimpa siapa pelaku usaha pertambangan yang harus bertanggungjawab, sebab dalam pengaturan di ius constitutum masih belum jelas mengenai pengurus siapa yang wajib bertanggungjawab apabila pelaku usaha pertambangan tersebut melaksanakan kesalahan. Mengingat bahwa tujuan pemidanaan menurut teori absolut ini yaitu untuk memberikan pembalasan khususnya untuk pelaku usaha pertambangan yang melaksanakan kejahatan.
Menurut Teori Relative, tujuan pemidanaan yaitu mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib warga serta dampaknya ialah tujuan buat preventif terbentuknya kejahatan, teori relative ini menghendaki penjeraan. Penjeraan tersebut dimaksudkan penjeraan buat yang melaukan kejahatan supaya terdapat rasa jera ataupun rasa khawatir sehingga pelaku kejahatan khawatir buat melaksanakan tindak pidana lagi, dalam ihal ini Adalah pelaku usaha yang melakukan kejahatan dalam melaksanakan aktivitas ataupun kegiatan pertambangan. Sebab pada intinya pelaku usaha pertambangan ialah pihak yang sangat bersalah apabila terjalin kesalahan dalam pengelolaan pertambangan yang bisa menyebabkan kerugian pada lingkungan/ekologi dan masyarakat, kerugian tersebut diakibatkan oleh kesalahan mekanisme dalam proses pengelolaan pertambangan. Bila dikaji dari pengaturan pemidanaan korporasi dalam ius constitutum belum terdapat pengaturan yang jelas mengenai pemidanaan untuk pengelola pertambangan, gimana tujuan pemidanaan buat memberikan efek jera bagi pengelola perusahaan pertambangan yang melaksanakan
kejahatan dapat diterapkan apabila pengaturannya sendiri belum jelas terpaut pertanggungjawaban pidana untuk siapa pengelola pertambangan yang harus bertanggungjawab apabila terjadi kesalahan atau kejahatan yang dilakukan dalam kegiatan pertambangan yang mengakibat. Kerugian pada Lingkungan/ ekologi dan masyarakat.
Menurut Teori Pembangunan berkelanjutan dalam perumusan pasal dalam peraturan perundang- undangan harus menguntungkan generasi saat ini dan generasi yang akan datang, sehingga dalam pembuatan rumusan pasal dalam peraturan perundang- undangan juga perlu pro rakyat miskin, dalam hal ini terutama rakyat ataupun masyarakat yang jadi korban akibat aktivitas pertambangan. Kekosongan peraturan terkait pihak mana dalam korporasi yang harus bertanggungjawab dalam hal korporasi melakukan tidak pidana dalam bidang pertambangan, hal tersebut akan menyulitkan bagi aparat penegak hukum untuk memproses hukum perkara dengan pelaku korporasi. Seharunya pembuat peraturan perundang- undangan memperhatikan tentang bagaimana aparat penegak hukum, polisi dan kejaksaan khususnya, menentukan siapakah yang wajib dan harus bertanggungjawab atas perbuatan melawan hukum ataupun tindak pidana yang dilaksanakan sesuatu korporasi.
Keharusan yang menekan pengaturan ini dalam memberikan efek jera untuk pelaku korporasi, serta melindungi korban- korban yang jadi korban akibat aktivitas pertambangan yang dilaksanakan oleh korporasi. Beberapa hal terkait ruang lingkup pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi yang harus diatur dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia ini meliputi:
- Pengaturan tentang pertanggung jawaban pengurus;
- Pola/ model formulasi pertanggungjawaban pidana korporasi;
- Ganti rugi korporasi terhadap masyarakat yang menjadi korban akibat aktivitas korporasi.
Rekonstruksi pengaturan pertanggungjawaban pidana pelaku usaha pertambangan ini memang merupakan sebuah jawaban atas dasar kasus secara substansial terpaut dengan kesesuaian pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam peratutran perundang- undangan dalam bidang pertambangan dengan nilai kepastian hukum yang adil.
Sebagaimana pengaturannya harus mampu mengakomodir proteksi hak asasi manusia bagi korban kejahatan korporasi secara kolektif dan juga terhadap pelaksanaannya. Berdasarkan hal yang penting diatur terpaut pertanggungjawaban pidana pengelola pertambangan maka rekonstruksi yang perlu dimanifestasikan dalam pengaturan hukum di
masa mendatang (ius constituendum) yang lebih tepat khususnya apabila diatur, yakni sebagai:
Rumusan Pasal Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku usaha Pertambangan
Mengenai tindak pidana yang akan dilakukan baik oleh, untuk, ataupun atas nama badan usaha, tuntutan pidana serta sanksi pidana dijatuhkan kepada:
- Bagi Pengelola Perusahaan Pertambangan :
- Orang yang beri perintah dalam melaksanakan tindak pidana tersebut ataupun orang yang berperan selaku pemimpin aktivitas dalam tindak pidana.
- Bagi Korporasi
- Pembubaran dan/ atau pencabutan izin korporasi;
- Menganti seluruh kerugian bagi masyarakat korban kejahatan korporasi;
- Larangan permintaan dana pada publik atau pelimpahan pertanggungjawaban kepada Negara
Penjelasan:
a. Bagi Pengelola Perusahaan Pertambangan:
Orang yang berin perintah dalamt melaksanakan tindak pidana tersebut ataupun orang yang berperan selaku pemimpin aktivitas dalam tindak pidana.
Pertanggungjawaban untuk pengelola/pelaku usaha pertambangan seharusnya diberikan kepada Orang yang beri perintah dalam hal ini siapa saja baik Direksi atau pengurus lainnya yang pada intinya beri perintah dalam melaksanakan tindak pidana ataupun Orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam hal ini pemimpin wajib bertanggungjawab apabila korporasi melakukan kejahatan karena pada dasarnya segala izin dan lain sebagaianya pasti dapat berjalan sesuai dengan izin serta kehendak dari pemimpin, oleh sebab itu butuh diaturanya pengaturan pemidanaan secara tegas bagi pemimpin sebagai orang yang mewakili korporasi untuk dipertanggungjawabkan secara pidana.
b. Bagi Badan Usaha
- Pembubaran an/atau pencabutan izin korporasi;
- Menganti seluruh kerugian bagi masyarakat korban kejahatan korporasi;
- Larangan permintaan dana pada publik atau pelimpahan pertanggungjawaban pada Negara.
Penggunaan istilah Badan Usaha disini lebih tepat digunakan untuk pertanggungjawaban bagi korporasi karena dalam perkembangan saat ini bukan hanya badan hukum saja yang dapat melakukan kegiatan pertambangan, dapat dimungkinkan korporasi yang tidak berbadan hukum juga bisa melakukan tindak pidana dalam bidang pertambangan, oleh karena itu untuk memberikan sesuatu kepastian hokum oleh karena itu perlu adanya sinkronisasi pengaturan terkait korporasi dengan merevisi peraturan korporasi di bidang pertambangan dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia dengan mengganti istilah Badan Hukum menjadi Badan Usaha.
Kemudian sanksi untuk Badan Usaha yaitu adalah pembubaran serta pencabutan izin bagi Badan Usaha dalam hal ini dimaksudkan agar Badan Usaha berhati-hati dan tidak semena- mena baik dalam hal perizinan maupun saat melakukan eksploitasi dalam melakukan kegiatan pertambangan agar tidak menimbulkan kerugian baik pada ekologi maupun Masyarakat.
Selain pembubaran dan pencabutan izin Badan Usaha, sanksi bagi Badan Usaha yaituh mengganti seluruh kerugian yang diderita oleh mayarakat, karena pada dasarnya pihak yang sangat dirugikan adalah korban oleh karena itu perlu adanya tanggungjawab dari Badan Usaha untuk memberikan ganti kerugian pada masyarakat yang jadi korban akibat aktivitas ataupun kegiatan pertambangan.
Hal yang paling peting dalam pemberian sanksi bagi Badan usaha dalam hal ini Yaitu mengadopsi dari peraturan pertanggungjawaban korporasi di Negera Perancis yaitu adalah Larangan permintaan dana pada publik atau pelimpahan pertanggungjawaban pada Negara. Banyak sekali kasus yang pernah terjadi di Indonesia akibat kegiatan atau aktivitas pertambangan dimana tidak adanya penyelesaian dari permasalahan tersebut dan kemudian Negaralah yang mengambil alih seluruh permasalan tersebut dan ganti kerugian kepada Masyarakat yang menjadi korban juga dilimpahkan Pada Negara dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Larangan permintaan dana pada publik atau pelimpahan pertanggungjawaban pada Negara ini dimaksudkan untuk melindungi Negara agar Negara tidak menjadi pihak yang bertanggungjawab atas tindakan kesewang- wenangan dan perbuatan pidana yang dilakukan oleh Badan Usaha.
PENUTUP
Berdasarkan hasil uraian dari pembahasan pada tulisan ini, disimpulkan bahwa:
- Makna dari pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu dimana adanya kehendak dari pengurus pengelola korporasi untuk bertanggungjawab atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak disengaja yang dilaksanakan oleh korporasi yang dampaknya menyebabkan kerugian lingkungan/ ekologi maupun kerugian yang dialami oleh masyarakat.
- Secara keseluruhan pengaturan pertanggungjawaban pidana pengurus pelaku usaha pertambangan dalam undang- undang di bidang pertambangan tidak secara tegas serta konkret menarangkan sanksi yang diberikan kepada baik korporasi maupun pelaku usaha pertambangan dengan nilai kepastian hukum yang adil sebagaimana pengaturannya harus mampu mengakomodir proteksi hak asasi manusia paling utama untuk korban yang merasa dirugikan dengan terdapatnya aktivitas pertambangan sehingga butuh upaya suatu rekonstruksi supaya pengaturan pertanggungjawaban pidana pengelola perusahaan pertambangan terbentuk sesuatu tujuan hukum ialah keadilan, kepastian, serta kemanfaatan.
- Rekonstruksi pengaturan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku usaha pertambangan yang seharusnya dengan nilai kepastian hokum yang adil sebagaimana pengaturannya wajib sanggup memanifestasikan proteksi untuk hak asasi manusia paling utama bagi korban kejahatan yang dilaksanakan oleh pelaku usaha pertambangan.
- Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara atas tindakan menambang di luar titik koordinat ijin operasi produksi usaha pertambangan yang diijinkan, bahwa meskipun seseorang (pengurus perseroan) tidak melaksanakan sendiri suatu tindak pidana serta tidak memiliki kesalahan dalam makna biasa, dapat dipertanggungjawabkan. Pengurus atau direktur, meskipun tidak melaksanakan sendiri tindak pidana tersebut, harus bertanggungjawab sselaku korporasi. Pengurus berbuat, pengurus dan korporasi bertanggungjawab secara pidana atas tindakan yang terjadi yaitu untuk pertambangan padahal di luar titik koordinat ijin operasi produksi yang diijinkan.
DAFTAR PUSTAKA
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia (The Habibie Centre 2002).
Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012;
Setiyono. Kejahatan Korporasi. Bayumedia, Malang, 2009;
Chay, Asdak. Kajian Lingkungan Hidup Strategis Jalan Menuju Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2014.
Ahmadi, Rulam. Metodologi Penelitian, 2014;
D. Schaffmeister, et.all. Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011; Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,2008:
Lukas, Marcus. Eksistensi Peraturan kebijakan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah Serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Universitas Pajajaran: Bandung, 1996;
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, 2000; Sahetapy, J.E. Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 2003;
Soemarwoto, Otto. Analisis Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. 2007;
Suswantoro, Slamet Suhartono. Fajar Sugianto. Jurnal Hukum Magnum Opus Agustus 2018;
Wiyanto, Roni. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju: Bandung, 2012; Gilang Izzuddin Amrullah, Jurnal Hukum Universitas Airlangga. Juli 2019;
Enricho Duo Putra Njoto Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1954 Desember 2019.