Wakaf merupakan salah satu ibadah di dalam agama islam, yang artinya perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah, hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (LN No. 159 Tahun 2004, TLN No.4459).
Sebelum mewakafkan harta benda milik wakif untuk diserahkan kepada nazir, wakif wajib mengucapkan Ikrar wakafnya terlebih dahulu. Pengucapan Ikrar wakaf ini secara lisan. Kemudian dituangkan ke dalam tulisan, dilaksanakan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yang dihadiri dengan 2 (dua) orang saksi. Pernyataan Wakif tersebut kemudian akan dituangkan dalam suatu bentuk Akta, yang disebut dengan Akta Ikrar Wakaf. Pejabat Pembuat Akta krar Wakaf (PPAIW) terdapat di dalam Pasal 1 angka 6 UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Pejabat yang berwenang untuk membuat Akta Ikrar Wakaf ini telah ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tentang Wakaf (LN No 105 Tahun 2006, TLN No 4667) yang tertuang dalam Pasal 37 yaitu:
- PPAIW harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala KUA dan/atau pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf.
- PPAIW harta benda wakaf bergerak dan uang adalah Kepala KUA dan/atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri.
- PPAIW harta benda wakaf bergerak berupa uang adalah Pejabat Lembaga Keuangan Syarah paling rendah setingkat Kepala Seksi LKS yang ditunjuk oleh Menteri.
- Ketentuan sebaigamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak menutup kesempatan bagi Wakif untuk membuat AIW di hadapan Notaris.
- Persyaratan Notaris sebagai PPAIW ditetapkan oleh Menteri.”
Pasal 37 ayat 4 dan 5 menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan bagi Notaris dapat mempunyai kesempatan untuk membuat Akta Ikrar Wakaf. Hal ini termasuk kewenangan baru Notaris dalam membuat Akta yang berkaitan dengan Wakaf. Dalam menjalankan jabatannya Notaris berpedoman pada UU Jabatan Notaris.
Ketentuan persyaratan Notaris untuk menjadi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) ini dijelaskan di dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Bergerak Selain Uang Pasal 27 yaitu:
- Notaris ditetapkan menjadi PPAIW dengan Keputusan Menteri.
- Persyaratan notaris untuk dapat ditetapkan menjadi PPAIW sebagai berikut:
- Beragama islam;
- Amanah; dan
- Memilik sertifikat kompetensi di bidang perwakafan yang dterbitkan oleh Kementerian Agama.
- Notaris sebagamana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dapat diangkat menjadi PPAIW setelah mengajukan permohonan kepada Menteri.
Dari Pasal 27 Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Bergerak Selain Uang tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak semua Notaris dapat menjadi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dijelaskan dalam pasal tersebut. Hanya Notaris yang beragama islam saja yang dapat mempunya kewenangan untuk dapat membuat Akta Ikrar Wakaf. Kewenangan dalam membuat Akta Ikrar Wakaf ini dapat dilaksanakan oleh Notaris dan Kepala Kantor Urusan Agama dalam kedudukan keduanya sebaga Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). UU Jabatan Notaris, di dalam penjelasan Pasal 15 ayat 3 hanya menjelaskan bahwa kewenangan lain notaris yang datur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Kewenangan mensertifkasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), Membuat Akta Ikrar wakaf, dan Hipotek pesawat terbang.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang djelaskan di atas maka penulis pembahasan pada penelitian ini berfokus pada Sejauh mana kewenangan Notaris dalam membuat akte Ikrar wakaf berdasarkan UU Jabatan Notaris? dan bagamana makna penjelasan Pasal 15 ayat 3 UU Jabatan Notaris yang menyatakan kewenangan notaris dalam membuat akta Ikrar wakaf.
PEMBAHASAN
Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akte Ikrar Wakaf Berdasarkan Undang Undang Jabatan Notaris
Pembuat Akta Ikrar Wakaf atau disingkat dengan PPAIW menurut Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri Agama Republik Indonesa untuk membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW). Yang dimaksud dengan pejabat disini adalah orang yang diberkan tugas dan kewenangan yang sah menurut hukum untuk membuat AIW. Sedangkan AIW adalah bukti pernyataan kehendak Wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya guna dikelola Nadzir (pengelola wakaf) sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk “akta”. Sedangkan yang dimaksud “akta” sendiri adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak Pejabat atau perkataan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta merupakan salah satu alat bukti tertulis (surat) sebagaimana diatur dalam Pasal 138, 165, 167 HR; 164, 285-305 Rbg dan Pasal 1867-1894 BW. Keharusan ditandatanganinya suatu akta didasarkan pada ketentuan Pasal 1869 BW, dengan tujuan untu mengnidividualisir suatu akta sehingga dapat membedakan dari satu akta dengan yang laninya. Kemudian yang dimaksud dengan penandatanganan dalam akta adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf (singkatan tanda tangan) dianggap belum cukup. Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta di bawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditujuk oleh undang-undang yang menyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta dihadapan pejabat tersebut (Pasal 1874 BW, Staatsblad Nomor 29, Pasal 1, 286 Rbg). Pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan waarmerking. Menurut bentuknya, akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan (lihat pasal 165 HR, 1868 BW, dan 285 Rbg). Akta di bAIWah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Dalam konteks ini, Akta Ikrar Wakaf (AIW) termasuk dalam kategori akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang yang ditunjuk oleh Menteri Agama, baik dari unsur kepala KUA maupun notaris yang telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yaitu:
- PPAIW harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala KUA dan/atau pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf.
- PPAIW harta benda bergerak selain uang adalah Kepala KUA dan/atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri.
- PPAIW harta benda wakaf bergerak berupa uang adalah Pejabat Lembaga Keuangan Syar’iah paling rendah setingkat Kepala Seksi LKS yang ditunjuk Menteri.
- Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), (2) dan ayat (3) tidak menutup kesempatan bagi Wakif untuk membuat AIW di hadapan Notaris.
- Persyaratan Notaris sebagai PPAIW ditetapkan oleh Menteri.
Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud “pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf” dalam pasal ini adalah pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Sedangkan yang dimaksud dengan “pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri” adalah pejabat yang menyelenggarakan wakaf atau Notaris yang ditunjuk oleh Menteri.
Sebagaimana telah ditentukan dalam Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf bagian keempat : Pengangkatan dan Pemberhentian PPAIW Pasal 55 bahwasanya :
- Keanggotaan Badan Wakaf indonesa diangkat dan diberhentikan oleh Presden.
- Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf indonesa di daerah dan diberhentikan oleh Badan Wakaf indonesa.
- Ketentuan lebih lanjut mengena tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota sebagamana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Badan Wakaf indonesa.
Undang-Undang Nomor 41 tentang Wakaf Pasal 56 bahwasanya : Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Undang – Undang Nomor 41 tentang Wakaf Pasal 57:
- Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri.
- Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf indonesa kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf indonesa. Ketentuan mengenai tata cara pemlihan calon keanggotaan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Badan Wakaf Indonesa, yang pelaksanaannya terbuka untuk umum.1
Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UU Jabatan Notaris menyebutkan yang dimaksud dengan “Kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan” antara lain kewenangan untuk mensertifikasi transaksi elektronik (cyber notary), membuat akta Ikrar wakaf dan hipotek pesawat terbang. Kewenangan Notaris yang telah ditentukan oleh Undang-undang Jabatan Notaris ni khususnya dalam pembuatan akta, yaitu perbuatan atau tindakan hukum yang diperintahkan oleh Undang-Undang dan Para pihak sendiri yang datang menghadap Notaris dikehendaki dalam bentuk akta Notaris.
Notaris sebagai pejabat umum yang mempunyai suatu kewenangan umum sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat lain menurut undang-undang. Kewenangan baru semacam ini perlu dilihat dalam realitanya terkait penggunan Notaris dalam menjalankan jabatannya selain sebagai pejabat umum juga sebaga Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Posisi Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf secara administratif sangat penting dan strategis, yaitu untuk kepentingan pengamanan harta benda wakaf dari sisi hukum, khususnya dari sengketa dan perbuatan pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab untuk itu PPAIW harus selalu bertindak amanah dalam menjalankan jabatannya.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atau disingkat dengan PPAIW menurut Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW). Bahwa dalam kesimpulannya Peraturan Pemerintah tentang Wakaf terdapat dua (2) aturan pihak yang dapat menjadi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf baik Kepala Kantor Urusan Agama dan Pihak Notaris. Tetap dalam kenyatannya banyak pihak yang belum mengetahui kewenangan baru notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf karena hingga saat ini pejabat yang berperan dalam wakaf yatu dalam Akta Ikrar Wakaf adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kota Gresik.
Pada kenyataannya selama ini pihak Kantor Pertanahan Kota Gresik hanya menerima Akta Ikrar Wakaf berupa wakaf tanah produk dari Kepala Kantor Urusan Agama Kota Gresik saja. Kantor Pertanahan Kota Gresik belum pernah menerima Akta Ikrar Wakaf produk dari Notaris di Kota Gresik. Di Kota Gresik sendri untuk pembuatan Akta Ikrar Wakaf berupa Tanah dilakukan di Kantor Urusan Agama selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Di Kota Gresik tidak ada Notaris yang mempunyai sertifikat sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, oleh karena itu dalam penelitian ini Notaris
hanya untuk dijadikan responden untuk menggali data- data tambahan.
Profesi Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat suatu akta otentik dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Dalam tugas dan tanggung jawab seorang Notaris dalam membuat akta otentik bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam melakukan perbuatan hukum tertentu yang dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat sering kali melakukan berbagai kegiatan yang menimbulkan perbuatan hukum, oleh karena itu masyarakat membutuhkan seseorang yang dapat dipercaya dan dapat memberikan suatu solusi dalam suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Pasal 15 UUJN telah memberikan kewenangan kepada seorang Notaris. Kewenangan yang diberikan kepada Notaris tentu saja tidak diberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya. Kewenangan yang diberikan kepada Notaris dikiuti dengan berbagai ketentuan lain yang mengkutinya.4
Kewenangan yang tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN ini masih menjadi perdebatan antara Notaris dan PPAT. Adapun PPAT menangkap bahwa Notaris telah mengambil kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh PPAT. Sedangkan Notaris menangkap bahwa apa yang seharusnya dilakukan oleh Notaris berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbedaan pendapat antara dua profesi ini belum selesai sampai dengan saat ini. Adanya ketidakjelasan kewenangan yang diberikan oleh UUJN dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f ini harus dapat diselesaikan dengan cara merubah UUJN sebagai dasar dari kewenangan Notaris. Hal ini untuk memperjelas dan memberikan kejelasan mengenai kewenangan yang diperoleh Notaris.5
Berdasarkan apa yang dikatakan oleh Van Wijk/Willem Konjnenbelt yang mendefinisikan tiga cara untuk memperoleh kewenangan, maka Notaris diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk menjalankan profesinya sebagai pejabat negara yang dapat membuat akta otentik. Pemberian kewenangan ini termasuk dalam pemberian dengan cara atribusi. Notaris telah mendapatkan kewenangan yang diberikan didalam Pasal 15 UUJN. Kewenangan yang diperoleh ini harus dijalankan dengan baik dan dengan cara yang profesional. Adanya Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN yang menjadi suatu perdebatan diantara kalangan profesi Notaris itu sendri, menjadikan UUJN sebagai produk peraturan perundang-undangan yang tidak sehat. Hal ini dikarenakan adanya perbadaan pendapat mengenai ketidakjelasan kewenangan pada Notaris yang berwenang dalam pembuatan akta pertanahan.
Akta tanah yang dibuat oleh Notaris adalah akta yang sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai akta otentik, karena akta tanah Notaris memenuhi unsur sebagai akta otentik, dan Notaris sendri menurut UUJN berwenang untuk membuatnya. Namun dilihat dari produk PPAT yang berupa akta PPAT maka PPAT merupakan pejabat umum yang diberikan wewenang untuk mengkonstantir suatu perbuatan hukum hak atas tanah antara para pihak ke dalam akta. Notaris yang tidak merangkap sebagai PPAT tidak mempunyai kempetensi untuk membuat perjanjian pemindahan hak atas tanah. Akta tanah yang dibuat oleh Notaris juga tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk pendaftaran tanah di Kantor Badan Pertanahan Nasonal (BPN), karena dilihat dari konsideran UUJN, maka Notaris bukanlah partner kerja dari BPN dalam urusan pertanahan. Hal ini berbeda dengan yang ada dalam konsideran PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang PPAT yang menegaskan bahwa PPAT merupakan partner kerja dari BPN dalam bidang pertanahan. Makna dari akta yang berhubungan dengan pertanahan yang merupakan kewenangan Notaris adalah bersifat sempit, artinya Notaris bisa membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan sepanjang akta tersebut bukan kewenangan dari PPAT. Pasal 1 angka (4) PP Nomor 37 Tahun 1998 menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.
Adanya berbagai polemik yang terjadi dikalangan Notaris dan PPAT diharapkan tidak meluas dan dapat merugikan masyarakat. Kewenangan yang telah diberikan oleh UUJN dalam Pasal 15, harusnya dipertegas kembali dengan adanya amanat untuk memberikan pemerintah membentuk suatu peraturan yang ada dibawah UUJN dalam hal pemberian kewenangan kepada Notaris. Permasalahan yang ada didalam kewenangan pembuatan akta pertanahan ini sebaiknya diselesaikan di tingkat Undang-Undang. Dewan Perwaklan Rakyat pada saat sekarang ini telah membentuk suatu program legislasi nasonal (prolegnas). Adapun salah satu agenda dalam prolegnas tersebut adalah perubahan UUJN. Salah satu permasalahan yang harus diselesaikan dalam perubahan UUJN tersebut yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf f. Adapun kewenangan Notaris dalam pembuatan akta pertanahan tersebut yaitu akta pertanahan yang ada diluar kewenangan PPAT seperti apa yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998.
2. Makna Pasal 15 Ayat 3 Undang-Undang Jabatan Notars Yang Menyatakan Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akta Ikrar Wakaf.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Jabatan Notaris yang menyatakan kewenangan notaris dalam membuat akta Ikrar wakaf dan berdasarkan Pasal 37 ayat 4 dan 5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 dengan kewenangan yang akan ditentukan kemudan adalah wewenang yang berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius consttuendum). Wewenang notaris yang akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Batasan mengenai apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 tetang Peradlan Tata Usaha Negara7, bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat Bersama Pemerntah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, yang juga mengkat secara umum.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga negara (Pemerintah bersama-sama Dewan Perwaklan Rakyat) atau Pejabat Negara yang berwenang dan mengikat secara umum. Dengan batasan seperti ini, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang dan bukan di bawah undang-undang. Namun tidak serta merta notaris bisa membuat Akte Ikrar Wakaf. Hal ini dikarenakan Akte tersebut belum diketahui bisa atau tidaknya diterima oleh BPN sebagai syarat mutasi perubahan atas sertipikat ataupun tanah di desa tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, BPN mengacu kepada regulasi yang sudah ditentukan, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan ATR No. 3 Tahun 1997 Pasal 95.
- Akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah adalah:
- Akta Jual Beli
- Akta Tukar Menukar
- Akta Hibah
- Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan
- Akta Pembagian Hak Bersama
- Akta Pemberian Hak Tanggungan
- Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik
- Akta Pemberian Hak Paka Atas Tanah Hak Milik.
Begitupula di dalam Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Pendaftaran Wakaf. Untuk atas perubahan tanah wakaf maka harus memakai akta krar wakaf yang dikeluarkan oleh PPAIW.
Berdasarkan hasil kajian yang diperoleh bahwa: Pertama, Ratio legis pengaturan kewenangan notaris dalam membuat akta Ikrar wakaf bahwasanya Notaris sebagai pejabat umum yang mempunyai suatu kewenangan umum sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat lan menurut undang-undang. Kewenangan ini perlu dilihat dalam realitanya terkait penggunan Notaris dalam menjalankan jabatannya selain sebagai pejabat umum juga sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf.
Posisi Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf secara administratif sangat penting dan strategis, yaitu untuk kepentingan pengamanan harta benda wakaf dari sisi hukum, khususnya dari sengketa dan perbuatan pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab untuk itu PPAIW harus selalu bertindak amanah dalam menjalankan jabatannya. Kedua, Ketentuan persyaratan Notaris untuk menjadi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) ini dijelaskan di dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Bergerak Selain Uang Pasal 27 bahwa Notaris ditetapkan menjadi PPAIW dengan Keputusan Menteri. Persyaratan notaris untuk dapat ditetapkan menjadi PPAIW adalah Beragama islam; Amanah; dan Memiliki sertifikat kompetensi di bidang perwakafan yang diterbitkan oleh Kementerian Agama. Notaris sebagaimana dimaksud dapat diangkat menjadi PPAIW setelah mengajukan permohonan kepada Menteri.8
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak semua Notaris dapat menjadi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dijelaskan dalam pasal tersebut. Ketiga, Akta otentik sebagai produk notaris dalam pembuktian di persidangan dikategorikan sebagai alat bukti surat. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang Undang Jabatan Notaris. Kewenangan membuat akta otentik ini merupakan permintaan para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata. Atas dasar kewenangan tersebut, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya notaris dituntut untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan pelayanan yang profesional. Berdasarkan hal itu, dalam perkara perdata akta otentik yang dikeluarkan oleh notaris sebagai pejabat yang di angkat oleh pemerintah merupakan alat bukti yang bersifat mengikat dan memaksa, mengandung maksud hakim harus membenarkan akta otentik tersebut. Adapun akta notaris batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat subyektf dan syarat obyektif. Terkait keberadaan akta otentik tersebut adalah keberadaan akta Ikrar wakaf. Salah satu unsur penting dalam perwakafan adalah “Ikrar wakaf”. Ikrar wakaf merupakan pernyataan dari orang yang berwakaf (wakif) kepada pengelola/ manajemen wakaf (nadzir) tentang kehendaknya untuk mewakafkan harta yang dimilikinya guna kepentingan/tujuan tertentu.
Perwakafan tanpa Ikrar wakaf tentunya akan mengakibatkan tidak terpenuhnya unsur perwakafan. Kalau unsur perwakafan tidak terpenuhi, maka secara hukum otomatis perwakafan tersebut dapat dikatakan tidak pernah ada. Untuk membuktikan adanya Ikrar wakaf, adalah dengan cara menuangkan Ikrar wakaf tersebut kedalam Akta Ikrar Wakaf (AIW) yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Berdasarkan hasil kajian tersebut penulis memberikan saran, antara lain: Pelaksanaan wakaf dapat efektif dilaksanakan di masyarakat karena banyak mengandung nilai postif bagi pembangunan islam. Guna menanggulangi hambatan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban nadzir, disamping dibentuk Perwakilan Badan Wakaf indonesa juga perlu ada sosialisasi kepada masyarakat tentang pengetahuan wakaf bahwa wakaf tidak saja dapat berupa benda bergerak tapi dapat berwujud benda tidak bergerak sehingga masyarakat dapat mewakafkan miliknya seperti dalam ketentuan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atau disingkat dengan PPAIW menurut Ketentuan Umum Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW).
Dilihat dari pelaksanaanya masih jarang notaris yang mempunyai kewenangan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dikarenakan belum ada Notaris di yang menerima sertifikasi terkait jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf. Aturan Undang-Undang Jabatan Notaris yang telah berjalan belum dapat dijalankan semestinya aturan hukum yang berlaku.
PENUTUP
Berdasarkan uraIan yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, maka sebagai penutup dari Jurnal ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Notaris tidak berwenang membuat Akte Ikrar wakaf tanah yang berwenang adalah Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atau disingkat dengan PPAIW menurut Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW). Walaupun di dalam Undang-Undang Jabatan Notars diatur di Pasal 15 ayat 3 dan 4 namun ini hanya sebatas angan-angan saja belum bisa diterapkan.
- Makna ketentuan di dalam penjelasan Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang Jabatan Notars yang menyatakan kewenangan notaris membuat akta Ikrar wakaf tidak bisa diterapkan, karena Undang-Undang ini berbenturan dengan Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 yang menjelaskan bahwa pembuat akta Ikrar wakaf adalah Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) bukan Notaris.
DAFTAR PUSTAKA
Philipus M.Hadjon, Penataan Hukum Administrasi, Tentang Wewenang, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, 1997;
Attamimi, Hamid A., Peranan Keputusan Presden Republk Ndonesa Dalam Penyelenggaraan Pemerntah Negara; Suatu Stud Analss Mengena Keputusan Presden Yang Berfungs Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelta Pelta V. Dsertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesa, Jakarta, 1990;
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2008;
Peter Mahmud Marzuki, Penelitan Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2007;
I Made Pasek Dantha, Metedolog Penelitan Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum,
Prenada Media Group, Jakarta, 2016;
Zainuddin Ali, Ilmu Hukum Dalam Masyarakat Indonesa, Yayasan Masyarakat Indonesa, Palu, 2000;
B.Arief Sdharta, Rechtvinding, Laboratorum Hukum Unverstas Katolik Parahyangan, Bandung, 2001;
Bagir Manan, Hukum Positif I n d o n e s i a , Yogyakarta, 2014;
Habib Adjie, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2015;
Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf Tahun 2013, Standar Pelayanan Wakaf Bagi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf Oleh, Http://Papua.Kemenag.Go.D/Fle/Fle/Data/Dvsu1457068454.Pdf, Diakses 3 April 2016.
Adjie, H., Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama. Surabaya, 2007:
Sumardjono, M., Kebjakan Pertanahan, Buku Kompas. Jakarta, 2007: HimAIWan, M., Pokok-Pokok Organsas Modern. Bina Ilmu, Jakarta, 2004:
Rachmatullah, Lalu Rizky, Prinsip Hukum Terhadap Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Krar Wakaf, 2020.