Bursa karbon adalah mekanisme yang mengatur perdagangan serta mencatat kepemilikan unit karbon sesuai dengan mekanisme pasar. Tujuan utamanya mengurangi ju emisi gas rumah kaca. Indonesia terus berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca atau net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah menguji coba perdagangan karbon atau bursa karbon yang ditargetkan berfungsi pada 2025. Tujuan perdagangan karbon adalah menekan emisi gas rumah kaca dan me transisi energi. Pada Juli 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan segera menerbitkan regulasi mengenai bursa karbon. Sedangkan perdagangan karbon akan dimulai pada Septembe Payung hukum bursa karbon diatur berdasarkan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Dalam aturan tersebut, OJK berperan mengawasi implementasi mekanisme tata kelola bursa karbon. Sementara itu, registrasinya akan dilakukan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Lantas, apa itu bursa karbon? Informasi lebih lengkap mengenai bursa karbon dapat disimak pada penjelasan di bawah ini.
Bursa karbon adalah mekanisme yang mengatur perdagangan serta mencatat kepemilikan unit karbon sesuai dengan mekanisme pasar, yang bertujuan mengurangi emi rumah kaca melalui jual-beli karbon. Pembentukan bursa karbon ini sejalan dengan target pemerintah Indonesia yang menetapkan nationally determined contribution ( untuk mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dengan upaya sendiri atau hingga 41 persen dengan dukungan eksternal pada 2030. Sejarah perdagangan karbon berasal dari komitmen dunia dalam menangani pemanasan global yang dimulai di Stockholm pada 1972. Saat itu, Perserikatan Bangsa-Ba (PBB) mengadakan konferensi tentang lingkungan hidup manusia. Dalam konferensi tersebut, perwakilan beberapa negara bertemu untuk pertama kalinya guna memb situasi lingkungan hidup secara global. Konferensi tentang bumi terus berlanjut hingga, pada 12 Desember 2015 di Paris, 195 wakil dari berbagai negara menyepakati perjanjian iklim global yang dikenal seb Perjanjian Paris (Paris Agreement). Dalam perjanjian tersebut, sejumlah negara berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dan memastikan suhu global tidak nai dari 2 derajat Celsius (3,6 derajat Fahrenheit), serta menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1,5 derajat Celsius (2,7 derajat Fahrenheit). Perjanjian Paris ini berlak pada 4 November 2016.
POJK Bursa Karbon Bakal Dirilis Pada Juli 2023
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana merilis Peraturan OJK (POJK) terkait bursa karbon pada 11 Juli 2023. Adapun bursa karbon ditargetkan bisa meluncur pada September 2023. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi menuturkan saat ini pihaknya sedang menyusun mekanisme perdagangan untuk unit karbon baik mandatory (wajib) dan voluntary (sukarela).
Dasar Hukum Bursa Karbon Indonesia
Bursa karbon di Indonesia resmi memiliki payung hukum setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK). Secara spesifik bursa karbon disebut dalam Bagian Ketiga Pasal 23 UU PPSK yang menggunakan model omnibus law tersebut. Dengan adanya landasan hukum tersebut maka saat ini pemerintah perlu segera mempersiapkan dan merealisasikan bursa karbon tersebut.
Urgensi untuk segera mempersiapkan dan merealisasikan bursa karbon tersebut adalah karena pada tahun 2030 negara-negara peserta konferensi perubahan iklim dunia (COP) yang berjumlah 196 negara harus mencapai target pengurangan emisinya. Sesuai hasil pencapaian pengurangan emisi tiap negara pada COP 26 di Glasgow tahun 2021 dan COP tahun 2022 di Mesir maka diperkirakan pada 2030 banyak negara yang masih belum mampu memenuhi kewajiban pemenuhan pengurangan emisi nasional (Nationally Determined Contribution /NDC) yang menjadi target masing-masing negara tersebut.
Persetujuan Paris (COP) yang bersifat mengikat secara hukum dan diterapkan semua negara (legally binding and applicable to all) dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing (common but differentiated responsibilities and respective capabilities), termasuk dalam hal ini Indonesia telah meratifikasi COP melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nation Framework Convention On Climate Change.
Dengan fakta bahwa Indonesia memiliki luasan hutan terluas ketiga di dunia dan Indonesia dalam COP hanya menargetkan pengurangan emisi karbon setara dengan 835 juta ton CO2 maka selain porsi NDC Indonesia yang logikanya sudah hampir pasti dapat dipenuhi juga di samping itu terdapat potensi ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Indonesia memiliki hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektare yang dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton.
Sementara mengacu pada data KLHK per tahun 2022, luas area hutan mangrove di Indonesia saat ini mencapai 3,31 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton karbon per hektare atau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove di Indonesia. Selain itu, Indonesia memiliki lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon mencapai sekitar 55 miliar ton.
Dari data tersebut, maka total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton. Jika pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan asumsi harga AS$5 di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia mencapai AS$565,9 miliar.
Dengan melihat potensi ekonomi yang sangat besar maka setelah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Nilai Ekonomi Karbon (Perpres NEK) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 (Permen LHK) Tentang Tata Laksana Perdagangan Karbon, dalam perspektif economic analysis of law merupakan hal yang positif. Tujuannya guna memberikan stimulus bagi perdagangan karbon khususnya bagi pihak swasta maupun pemerintah itu sendiri demikian juga merupakan stimulus bagi perdagangan karbon baik dalam pasar mandatory maupun voluntary.
Dengan demikian maka pihak yang telah mendapatkan PBPH (Perizinan berusaha penguasaan hutan) di bidang restorasi dan peruntukan perdagangan karbon dapat memperkirakan besaran volume karbon yang akan diperdagangkan di pasar voluntary. Pasal 7 Permen LHK 21/2022 tersebut telah memberi batasan yang jelas mengenai volume karbon yang dapat diperdagangkan beserta besaran bagi NDC Indonesia dan cadangannya. Demikian juga Pasal 4 ayat (2) Permen LHK 21/2022 juga memberikan petunjuk yang jelas bagi penyisihan unit karbon bagi pencapaian NDC terkait komitmen NDC Indonesia pada 2030.
Dengan diterbitkannya Permen LHK 21/2022 maka menjadi jelas bahwa praktik perdagangan karbon dapat segera direalisasikan di tahun 2023. Artinya pasca terbitnya aturan Permen LHK 21/2022 khususnya pada Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 7 Permen tersebut maka perusahaan telah dapat memperhitungkan jumlah volume perdagangan karbonnya beserta nilai perdagangannya sehingga dalam hal ini lahirnya aturan bursa karbon melalui UU PPSK dipandang sebagai momentum yang tepat untuk segera direalisasikan.
Tantangan Perdagangan Karbon di Bursa Karbon Indonesia
Bursa karbon yang akan dibentuk tersebut setidaknya memiliki tiga tantangan. Pertama, mekanisme penetapan harga acuan unit karbon yang akan diperdagangkan. Saat ini harga acuan dunia untuk karbon menggunakan index harga OPIS atau NGEO, penetapan index harga bursa karbon Indonesia yang tepat dan kompetitif penting karena salah satu dari esensi Perpres NEK adalah penetapan harga acuan (carbon pricing). Jika karbon ditetapkan sebagai komoditi yang diperdagangkan dalam bursa maka penting juga untuk melibatkan BAPEBTI untuk penyusunan harga. Penetapan harga yang akurat menjadi penting, mengingat harga bursa karbon akan menjadi acuan bagi perdagangan karbon non bursa (baik pasar mandatory dan pasar voluntary).
Tantangan kedua adalah mempercepat perizinan PBPH di bidang restorasi dan peruntukan perdagangan karbon sehingga ketika bursa karbon dibuka nantinya akan lebih didominasi oleh perdagangan karbon Indonesia yang dikelola baik oleh pemerintah maupun oleh swasta pemegang PBPH dengan buyer domestic maupun Indonesia. Sebaliknya jika proses PBPH, registrasi dan otorisasi ‘berbelit-belit’ maka dikhawatirkan bursa karbon nantinya akan sepi perdagangan atau didominasi perusahaan asing yang menjual karbon yang bukan berasal dari Indonesia. Jika hal ini terjadi maka bursa karbon di Indonesia hanya menempatkan Indonesia sebagai pembeli (buyer) atau sebagai perantara (broker/ trader), bukan sebagai penjual karbon secara langsung melalui mekanisme bursa.
Tantangan ketiga adalah segera menyelesaikan pembuatan aturan turunan dan aturan teknis mengenai bursa karbon di Indonesia, mengingat perdagangan karbon melalui bursa ini melibatkan berbagai otorisasi misalnya KLHK berkaitan dengan otorisasi perdagangan karbon sebagaimana dijelaskan dalam Permen LHK 21/2022, kemudian mengingat bursa karbon disebut dalam UU PPSK maka perlu aturan teknis OJK dan BAPEBTI dan juga perlu regulasi turunan yang jelas mengenai institusi yang berhak atas pengawasan dan institusi yang berhak menyelenggarakan perdagangan karbon itu sendiri, saat ini di Indonesia terdapat dua bursa yakni BEI (IDX) dan bursa berjangka komoditi Indonesia (ICDX).